Oleh Valens Daki So’o
SELAMAT jadi pengikut baru agama Islam alias mualaf, Bung Daniel Mananta.
Sama sekali tdak ada masalah dengan itu, karena sepenuhnya hak setiap orang untuk memilih beragama apapun — bahkan untuk tidak beragama.
Jadi, kalau selama ini Anda memeluk Katolik lalu tergerak hati untuk menganut Islam (menjadi Muslim), itu oke saja bila menjadi kebaikan dan kebenaran yang Anda yakini.
Namun, secara ringkas-pendek saya beri koreksi untuk Anda (terkait wawancara Anda dengan Ustadz Abdul Somad alias UAS baru-baru ini).
Kami (orang Katolik) tidak menyembah patung. Jika Anda terpengaruh oleh UAS untuk meraih “persepsi baru” bahwa orang Katolik menyembah patung, itu mutlak keliru dan Anda terjebak dalam kesalahpahaman yang sungguh infantil, kekanak-kanakan.
Kutipan dari Kitab Yesaya dalam Alkitab Perjanjian Lama pun tidak kontekstual. Anda melepaskan satu ayat dari konteks utuhnya.
Bung Daniel, patung di dalam gedung gereja Katolik atau di rumah-rumah umat Katolik hanyalah sarana untuk membantu menciptakan suasana sakral-religius.
Yang sejatinya disembah adalah Tuhan, patung hanyalah alat simbolisasi kehadiran Yang Ilahi.
Bila Anda menyimpan foto ibu atau istri/kekasih Anda, lalu karena merasa rindu dan cinta Anda mencium foto tersebut, itu tidak berarti Anda “menyembah” foto.
Anda bahkan bukan sesungguhnya mencium foto itu, tetapi membayangkan mencium ibunda atau kekasih Anda.
Anda pernah belajar Filsafat? Jika tidak, karena Anda murni seorang artis, saya beritahu ini.
Seorang pakar filsafat budaya Ernst Cassirer menyebut manusia adalah “homo symbolicum” (makhluk simbolis).
Memang, manusia adalah “ens culturale” (makhluk budaya). Ya, manusia butuh simbol-simbol (dan ekspresi budaya lainnya) untuk menandai, memaknai, membantu pengungkapan dirinya, termasuk dalam beragama.
Patung itu hanyalah simbol, Bung. Sekali lagi, yang dihormati, dicintai dan disembah adalah “sesuatu/siapa” yang disimbolkan oleh patung dan sarana ibadah lainnya.
Anda pernah belajar Teologi? Setidaknya pernah baca satu-dua buku?
Kami (saya mantan calon pastor Katolik) belajar belasan tahun untuk cukup (saya rasa belum memadai) memahami “sensus fidei” (rasa keberimanan) dalam berbagai les filsafat, teologi dan sejumlah ilmu/matakuliah lainnya.
Kami pun belajar matakuliah Ilmu Perbandingan Agama, Islamologi, Hinduisme, Buddhisme, bahkan Ateisme.
Dengan belajar Islamologi, kami memahami nilai-nilai kebaikan universal yang diajarkan Islam.
Bahkan dengan itu kami pun memahami hal “simbolis”: misalnya dengan mengitari Ka’bah (tawaf), bukan berarti umat Muslim menyembah Ka’bah.
Atau jangan-jangan Anda berpikir itu menyembah Ka’bah? Semoga Anda tidak salah-paham!
Untuk para kerabat semua: dalam segala hal, belajarlah dari pakarnya.
Jika Anda bermasalah dalam kejiwaan, dengarlah psikolog dan psikiater. Jika Anda sakit perut berkepanjangan, pergilah ke dokter spesialis penyakit dalam. Jika Anda ingin memahami Big Bang (Ledakan Besar) terkait terjadinya alam semesta, pergilah ke pakar fisika.
Jika Anda Katolik atau Islam, atau agama apapun, lalu Anda mengalami krisis iman, pergilah ke tokoh/pakar agama Anda dan konsultasi-lah dengan mereka.
Atau, kalau saya sendiri sering bikin: pergilah juga ke dalam diri sendiri di tengah keheningan dan dengarkan suara hati.
Tentu saja, mengambil waktu hening untuk berdoa, membiarkan diri diarahkan oleh Tuhan, sehingga selalu berjalan di jalan yang benar sesuai kehendakNya.
Akhirnya, selamat menjadi mualaf Bung Daniel! Semoga bertumbuh menjadi seorang Muslim sejati! ***
Sumber : https://www.okenusra.com/